Di sebuah dusun yang sunyi, tenang dan damai, ada seorang kakek bijak mendiami dusun tersebut, tak ada yang menemani sang kakek tinggal, ia hanya hidup sebatang kara, namun ia tetap men syukuri kehidupannya , maka tak heran beberapa peduduk dusun itu menjuluki si kakek itu dengan julukan si Kakek Bijak, karena petuahnya banyak mengandung arti bagaimana harus bersikap dan berprilaku dalam kehidupan ini.
Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda dusun yang sedang dirundung banyak masalah, langkahnya gontai, raut mukanya ruwet, seakan harapan tak lagi mau berpihak lagi kepadanya, tatap mata kosong, sehingga guratan secercah harapan tak tampak sedikitpun di wajahnya.
Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda dusun yang sedang dirundung banyak masalah, langkahnya gontai, raut mukanya ruwet, seakan harapan tak lagi mau berpihak lagi kepadanya, tatap mata kosong, sehingga guratan secercah harapan tak tampak sedikitpun di wajahnya.
Sosok itu mengejutkan si Kakek Bijak yang sendari tadi, asyik dengan menganyam bambu untuk dibuat peralatan rumah tangga, karena dengan keahliannya itu ia tetap bertahan untuk hidup, hasil kerja dan jerih payahnya itu ia jual ke pasar dusun terdekat.
Tanpa membuang waktu pemuda itu menceritakan semua permasalahnya yang ia hadapi, karena ia percaya si Kakek Bijak pasti akan memberikan jalan keluarnya dari permasalahannya itu. Dan dengan bijaksana si kakek mendengarkan curahan hati pemuda itu dengan seksama.
Setelah selesai si pemuda itu menceritakan kesukarannya, si Kakek Bijak hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, lalu ia berjalan menuju ke dapur yang tak jauh dari tempat duduknya itu, ia mengambil segenggam garam dan segelas air.
“Anak muda cobalah kau taburkan garam ini kedalam segelas air yang aku bawa ini dan aduklah air dan garam ini, “ pinta si kakek bijak.
Tanpa pikir panjang lagi si pemuda itu menaburkan garam ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan-lahan.
“Sudah kek ! Aku sudah aduk rata sekali garam dengan air ini ujar si pemuda itu.
“Ehmm….,cobalah kau minum larutan itu dan katakan bagaimana rasanya”, ujar Kakek Bijak itu.
“Pahit.., asin tak karuan rasanya, Kek …”, jawab pemuda itu sambil ia meludah ke samping tak kuasa menahan rasa yang tak enak dari larutan itu.
Kakek Bijak sedikit tersenyum. Lalu ia mengajak si pemuda itu berjalan ke tepi sebuah telaga yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang tenang.
Kakek itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga dan dengan sepotong kayu dari rerutuhan pohon, ia membuat gelombang-gelombang dari adukan-adukan itu yang menciptakan riak-riak air di telaga.
“Pahit.., asin tak karuan rasanya, Kek …”, jawab pemuda itu sambil ia meludah ke samping tak kuasa menahan rasa yang tak enak dari larutan itu.
Kakek Bijak sedikit tersenyum. Lalu ia mengajak si pemuda itu berjalan ke tepi sebuah telaga yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka di tepi telaga yang tenang.
Kakek itu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga dan dengan sepotong kayu dari rerutuhan pohon, ia membuat gelombang-gelombang dari adukan-adukan itu yang menciptakan riak-riak air di telaga.
“Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah,” perintah Kakek Bijak.
Saat pemuda itu selesai meneguk air telaga, si kakek bijak, kembali bertanya, “Bagaimana rasanya ?”
“Segar dan nyaman sekali di tenggorokanku ini, ” sahut pemuda itu.
“Segar dan nyaman sekali di tenggorokanku ini, ” sahut pemuda itu.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu ?” tanya Kakek Bijak lagi.
“Tidak, ” jawab si pemuda.
Dengan kasih sayang dan bijaksannya, Kakek Bijak menepuk-nepuk punggung pemuda itu, ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh disamping telaga itu.
Dengan kasih sayang dan bijaksannya, Kakek Bijak menepuk-nepuk punggung pemuda itu, ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh disamping telaga itu.
“Anak muda ! Dengarlah, pahitnya kehidupan itu adalah layaknya segenggam garam, tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan memang akan tetap selalu sama.”
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Kakek bijak itu kembali memberi nasehat, “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas. Buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Akhirnya setelah mendapat petuah dari kakek bijak, si pemuda menyadari kenyataan kehidupan yang memang penuh dengan jalan yang berliku-liku.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Kakek bijak itu kembali memberi nasehat, “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas. Buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
Akhirnya setelah mendapat petuah dari kakek bijak, si pemuda menyadari kenyataan kehidupan yang memang penuh dengan jalan yang berliku-liku.
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu, belajar memaknai kehidupan yang ada kala kita di atas dan adakalanya di bawah bagai roda pedati.
Setiap orang pasti mengalami keterpurukan dalam kehidupan , namun keterpurukan itu hendaknya bukan menjadi hambatan dan vonis tak akan dapat mencapai lagi apa yang kita harapkan dan hendaknya keterpurukan seharus menjadi cambuk semangat untuk meraih lagi yang terlepas dari harapan kita.
Jadi pergunakanlah waktu yang selama kita masih bisa bernafas dalam kehidupan ini lakukan dengan kesungguhan dan melepas segala belenggu kemalasan dalam diri.
0 comments:
Post a Comment